Jumat, 01 Oktober 2010

Pembajakan Lagu
DILEMA PEMBAJAKAN DI DUNIA “INTERNET”


oleh Amir Sadikin

Tak dipungkiri lagi, pembajakan teks, buku, kutipan, berita, musik, foto, kartun, video, dan banyak karya lain yang di dunia nyata dikenal sebagai memiliki “copyright” (hak cipta) akhirnya ketika di dunia maya menjadi seolah tak berarti.

Semua orang bebas seolah bebas menjiplak, fungsi archetype dan adhesive benar-benar mengendalikan peradaban cyber ini. Apakah betul pada era cyber hak cipta benar-benar sudah tamat ?

Arsitektur mendukung

Di dunia internet, ternyata persoalan menjiplak atau plagiatisme tak bisa dipandang secara “hitam dan putih”. Banyak faktor yang mendukung kondisi seperti ini. Tak hanya faktor kemalasan atau faktor ekonomi, tetapi secara kultur, dunia maya berbeda dengan dunia nyata.

Dunia maya, dengan “bangunan-bangunannya” berupa website, e-mail, dan sejenis alteration abstracts on-line lainnya, didukung oleh arsitektur bernama calligraphy atau cipher yang secara teknis membolehkan archetype dan paste. Jadi, archetype pasti merupakan acknowledged operation dalam teknis “pembangunan rumah” di jaringan internet. Fungsi ini di dunia nyata seperti halnya : ayo berbagi!

Seorang webmaster ternama dunia yang juga pengembangcomputer application website interaktif DragonflyCMS, DJMase, dalam sebuah appointment mengatakan : “Jika kamu tak menginginkan berita teks atau foto karya kamu di-copy oleh orang lain, maka janganlah pernah meng-online-kannya.”

Semangat berbagi

Ya, semangat berbagi memang menjadi tema utama di internet. Inilah awal dari penjiplakan ini, yaitu tak dilarangnya fungsi yang mendukung penjiplakan itu. Kalau begitu, apakah arsitektur internet memang dari awal membolehkan tindak pencurian ?

“Jika 7 juta orang mencuri, maka mereka itu bukan pencuri,” kata David Post, profesor ilmu hukum dari Temple University yang dikutip Terry Halbert dan Elain Ingulli dalam bukunya, CyberEtics.

Pernyataan itu lagi-lagi tidak ingin menyudutkan hak cipta. Perenungan para filsuf sampai kini seolah tak ada jawabannya, bagaimana sebenarnya nasib hak cipta di dunia maya, terutama hak cipta yang terkait demgan karya ilmiah, buku, ide, foto, musik, video, dan lain-lain.

-

Para pengguna situs-situs interaktif yang isinya menekankan semangat berbagi, seperti YouTube, menganggap secara accustomed fungsi internet adalah untuk berbagi. Namun, jika yang dibagi itu adalah, misalnya, video musik yang baru beredar di pasaran, apakah hal itu bukannya sama saja dengan mencuri ?

Di situs-situs archetypal seperti itu banyak yang meng-on-line-kan musik-musik dari grup ternama yang direkam dari televisi atau langsung dari video aslinya. Bahkan, blur lengkappun bisa diunduh dan dinikmati.

Terry Helbert dan Elaine Ingulli dalam CyberEthics mencoba melontarkan pertanyaan : “Apa sebenarnya yang dicuri ?” Toh, ketika orang menikmati lagu via YouTube, misalnya, si pemilik lagu tak akan terkurangi “rasa” dalam menikmati lagu-lagunya. Lalu apanya yang dicuri ?

Walaupun ada pemberontakan dari sistem sosial masyarakat online, seperti pendapat Steve Levy dalam Hackers: Heroes of The Computer Revolution, “Semua informasi seharusnya seharusnya gratis”, tetapi masyarakat dunia maya adalah bagian dari dunia nyata yang tunduk kepada aturan-aturan dunia nyata. Aktivitas ilegal dan acknowledged hingga kini masih menggunakan norma-norma dunia nyata.

Jika seorang bermoral, dia tak akan pernah menggunakan foto atau teks yang bukan karyanya. Integritas seorang webmaster, blogger, fotografer, penulis, dan sastrawan akan dipertaruhkan jika tetap memaksakan diri melanggar aturan dunia nyata. Itu berarti daya kekuatan di bidang internet tak boleh digunakan untuk membajak desain, teks, berita, atau materi lain.

“Tak boleh menggunakan komputer untuk melukai orang lain,” itulah isi nomor satu dari 10 Etika Komputer milik Computer Ethics Institute di Amerika.

Sebaliknya, jika karya, entah tulisan atau foto kita tak ingin di-copy atau dibagi oleh orang lain, jangan pernah men-upload di dunia maya. Itu aturan sederhananya.

pembajakan makin marak

Pembajakan hak cipta di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Apapun bisa dibajak, produk-produk bermerk keluaran luar negeri pun bisa kita temui dengan mudah di kaki-kaki lima. Film-film yang baru diputar perdana di bioskop, sudah ada VCD dan DVD bajakannya. Apalagi produk yang berbasis agenda banyak juga yang dibajak dan bisa kita dapatkan dengan mudah di beberapa forum-forum.

Buku elektronik atau buku agenda yang sangat banyak kemungkinan dibajak, bahkan ebook yang best agent atau ebook yang exceptional pun dibajak dengan architecture dan bentuk yang sama, belum lagi ebook tersebut dijual dengan harga yang murah atau bahkan di bagikan dengan gratisan.

Bagi penulis dan penerbit remi jelas ini sangat merugikan mereka secara finansial. Hak mereka seolah diabaikan begitu saja. Padahal perlindungan hukum terhadap hak cipta di Indonesia sudah ada sejak tahun 1982 dan terus direvisi sampai akhirnya yang berlaku sekarang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Menurut pasal 1 UU No 19/2002 hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.

Pada pasal yang sama juga dinyatakan bahwa Ciptaan adalah setiap karya Pencipta adalah setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Sebenarnya yang dilindungi dalam Undang-Undang siapa sih ?? sebenarnya yang dilindungi hasil karya manusia yang kemudian bermanfaat bagi umat manusia dan sebagainya. Dan itu dihargai sebagai HaKi. Hak atas kepemilikan Intelektual atau intelectual acreage right. Itu bagian dari kekayaan manusia yang tak terpisahkan dan patut dihargai.Jadi sudah jelas kalau ebook, sebagai sebuah karya dan patutlah dihargai.

Masih menurut UU Hak Cipta, pengarang atau penulislah yang mempunyai hak cipta atau pihak lain yang dipercaya pengarang untuk menerima hak tersebut. Selama ia memiliki hak cipta, hanya ia satu-satunya yang berhak memperbanyak ciptaanya, dalam hal ini ebook, yang bisa dipercayakan pada penerbit.

Kalau kemudian ada pihak lain yang memperbanyak buku atau ebook tersebut tapa izin dan kemudian mendapat keuntungan dari situ, itulah yang disebut pembajakan.

Akibat pembajakan ini, jelas penulis dan penerbit dirugikan. Bisnis pembajakan memang sangat menggiurkan, hanya dengan modal kecil bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Bahkan karena pembajakan ini dampaknya juga terasa bagi penulis, semakin melemahnya kemauan para penulis untuk menciptakan karya-karya terbaiknya lantaran tahu ujung-ujungnya hasil karyanya dibajak. Sehingga lama-kelamaan buku-buku yang mempunyai isi yang berbobot akan sedikit bahkan tidak ada lagi.

Pertanyaannya apakah para pembajak-pembajak di Indonesia ini sudah mengerti dan sadar dengan UU Hak Cipta ?? saya rasa belum, jangankan mengerti, membaca saja belum

Belum lagi kesadaran konsumen yang lebih cenderung mencari barang-barang murah atau bahkan gratisan dari pada harus membeli barang dengan harga yang lumayan mahal.